Beranda | Artikel
Shalat Di Atas Tanah dan Shalat Di Kapal Laut
Senin, 25 Januari 2010

SHALAT DI ATAS KAPAL DENGAN DUDUK?

Pertanyaan.
Apakah ada udzur untuk shalat duduk di kapal laut/penumpang yang berangkat sehari semalam? Kalau untuk lakik-laki mungkin bisa berusaha mencari tempat berdiri, tetapi untuk perempuan takut fitnah, apalagi kalau bercadar, tentu saat shalat dibuka. Akan tetapi ada yang bilang wajib berdiri selagi mampu/sehat, tak ada udzur walau di kapal. Jazakumullah.

Jawaban.
Pada asalnya, shalat wajib yang dilakukan di mana saja harus dengan berdiri, kecuali jika tidak mampu karena sakit, atau karena pusing dan takut tenggelam bagi penumpang kapal, semacamnya, maka boleh dilakukan dengan duduk.

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Dari ‘Imraan bin Hushain Radhiyallahu anhu , dia berkata: “Aku dahulu berpenyakit bawasir, lalu aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat, maka beliau menjawab, ‘Shalatlah dengan berdiri. Jika engkau tidak mampu, maka dengan duduk. Jika engkau tidak mampu, maka dengan berbaring‘.” [1]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Sabda Nabi ‘jika engkau tidak mampu’ dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa orang sakit tidak shalat dengan duduk kecuali tidak mampu berdiri. ‘Iyaadh telah menukilkan ini dari Imam asy-Syafi’i. Adapun nukilan dari Imam Mâlik, Ahmad, dan Ishaq, tidak disyaratkan tidak mampu. Bahkan adanya kesusahan, (boleh shalat dengan duduk). Dan yang sudah diketahui pada para pengikut (Imam) asy-Syafi’i bahwa yang dimaksudkan dengan ketiadaan kemampuan ialah adanya kesusahan yang sangat dengan berdiri (di dalam shalat), atau bertambah sakit, atau kebinasaan, dan tidak cukup kesusahan yang sedikit. Termasuk (dalam kategori) kesusahan yang sangat, ialah pusing kepala bagi penumpang kapal dan takut tenggelam jika dia shalat dengan berdiri di atas kapal”. [Fathul-Bâri, syarh hadits no. 1117]

Dengan penjelasan ini, maka jika anda merasa pusing dan takut tenggelam jika shalat dengan berdiri di atas kapal tersebut, maka boleh dengan duduk. Jika tidak, maka seperti asalnya, wajib shalat dengan berdiri, walaupun memakai cadar. Wallahu a’lam.
________
[1]. HR al-Bukhâri, no. 1117. Abu Dawud, no. 952. At-Tirmidzi, no. 372. Ibnu Majah, no. 1223.

SHALAT DI TANAH

Assalamu’alaikum, mohon penjelasan di rubrik soal-jawab. Banyak hadits shahih yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di atas tanah tanpa penghalang bahkan bersandal dan ketika shalat diatas mimbar pun beliau turun ke tanah untuk bersujud dan naik ke mimbar untuk berdiri dan ruku. Sekarang tak sedikitpun orang shalat di atas tanah langsung tetapi shalat dalam masjid yang berkeramik mewah bahkan permadani lembut. Apakah ini tidak bertentangn dengan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Syukran. Maman Indramayu

Jawaban.
Apa yang anda sebutkan tidak bertentangan dengan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering shalat di atas tanah tanpa penghalang, namun beliau juga pernah shalat di atas tikar, khumrah (tikar kecil atau tenunan daun kurma atau semacamnya sebagai alas wajah ketika sujud, sehingga ukurannya juga sebesar itu ; jadi semacam sajadah kecil namun khusus untuk wajah)[1]

Demekian juga, sepengetahuan kami, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umat agar shalat langsung di atas tanah, dan tidak pernah melarang shalat di atas permadani, keramik atau semacamnya.

Sebagai seorang muslim, kita tidak boleh mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Dan kita tidak boleh mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Namun begitu, ada juga ulama yang memakruhkan shalat diatas sajadah yang penuh gambar nan mewah dan mengatakan bahwa yang paling utama adalah meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al-‘Izz bin Abdis Salam rahimahullah mengatakan : “Dimakruhkan shalat di atas sajadah yang dihias-hiasi dan berwarna-warni. Juga di atas sajadah yang mahal dan indah. Karena kondisi saat shalat adalah kondisi merendahkan hati dan merendahkan diri. Di masjid Makkah dan Madinah orang-orang (yaikni pada zaman itu, -red) senantiasa melakukan shalat di atas tanah, pasir dan kerikil, karena merendahkan diri kepada Allah.

Beliau rahimahullah juga mengatakan : “Maka yang lebih utama adalah mengikuti perkataan dan perbuatan-perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang kecil maupun yang besar. Barangsiapa mentaatinya, maka dia pasti mendapatkan petunjuk dan dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan barangsiapa yang tidak mentaatinya dan meneladani beliau, maka dia jauh dari kebenaran seukuran jauhnya dari mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”[2].

Wallahu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XII/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Shifat shalat Nabi, halaman 150, karya Syaikh Al-Albani, penerbit Maktabah Al-Ma’arif.
[2]. Fatawa Al-‘Izz bin Abdis Salam, halaman 68, dinukil dari Al-Qaulul Mubin fi Akh-thail Mushallin, halaman 66


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2636-shalat-di-atas-tanah-dan-shalat-di-kapal-laut.html